Tulisan peneliti senior dari CFR (Council of Foreign Relations), Joshua Kurlantzick, berjudul '
The great deglobalizing: Our interconnected world is shrinking back toward its national borders- and that's a problem,' terasa menggugah untuk menjadi bahan pemikiran terkait posisi Indonesia di panggung global (dan juga di negeri sendiri). Disebutkan Kurlantzick, bahwa dunia kembali pada fase 'deglobalisasi' dimana tingkat perdagangan lintas batas menurun, rendahnya inovasi untuk mengangkat kembali dunia usaha dari kelesuan paska krisis 2008, yang kesemuanya disimpulkan dalam tulisannya sebagai akibat dari peningkatan persoalan domestik masing-masing negara yang membutuhkan porsi fokus sangat besar dari pemimpin-pemimpinnya.
|
Boston Globe's "The Great Deglobalizing" by Joshua Kurlantzick |
Kenyataan yang kita ketahui bersama memang demikian adanya. Mulai dari Presiden Dilma Rousseff yang tengah disorot karena skandal korupsi di tubuh perusahaan minyak negara, Petrobas, yang dikutip CNN dari media-media Brazil, sebagai
'the biggest corporate scandal in the history,' masyarakat Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA) yang mulai jengah dengan persoalan imigran Syria sehingga memunculkan gelombang protes dan kini terang-terangan menolak masuknya imigran baru ke tanah mereka, atau di kota yang identik dengan keindahan dan kenyamanan hidup, Paris, tewasnya jurnalis, ilustrator, serta seorang ekonom dari koran humor Charlie Hebdo pada awal Januari silam membangkitkan apa yang sempat marak disebut dengan '
Islamophobia' dan berimbas pada pengetatan regulasi terkait imigrasi Perancis dan Eropa secara keseluruhan.
Pemimpin dunia semakin 'ditantang' oleh keadaan untuk mampu berperan ganda, aktif di dalam negerinya sendiri serta tentunya di panggung dunia yang semakin terasa 'tipis' berkat kehadiran media sosial seperti twitter dan instagram.
Tantangan ini juga turut dirasakan Presiden Jokowi yang kini jelas-jelas sedang diuji kepemimpinan dan decision making skill nya oleh satu kata yang sering didengar rakyat Indonesia sejak dulu : Budi. Kali ini, Budi yang 'ini' berkonotasi lain.
Pencalonan Kapolri yang menimbulkan keriuhan publik
Budi Gunawan telah berhasil mendapat tempat utama di ruang media Indonesia terkait pencalonannya sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Yang membuat posisinya berbeda dibandingkan pada saat pencalonan Kapolri sebelumnya, adalah, ia calon Kapolri pertama dalam sejarah kepolisian republik ini, yang merupakan tersangka kasus korupsi. Fakta lain, meskipun sebagai tersangka kasus korupsi, DPR RI tetap memuluskan pencalonannya. Keputusan terakhir ada di tangan Presiden yang mengangkat dan memberhentikan Kapolri serta kepada siapa Kapolri bertanggungjawab di mata undang-undang. Dan pada titik ini lah, Presiden Jokowi dihadang permasalahan.
Secara umum, polemik yang dihadapi pemimpin yang didukung partai politik, sama dan akan selalu sama, yakni mengamankan keputusan dan arahan partai pendukungnya dan di saat yang bersamaan juga mendengarkan aspirasi rakyat yang heterogen. Layaknya Presiden Jokowi yang menghadapi kenyataan bahwa partai pendukungnya, PDI Perjuangan, mendukung penuh pencalonan Budi Gunawan sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri). Di samping itu, dukungan DPR dalam pencalonan Budi Gunawan menjadi bentuk tekanan tersendiri.
Sebagai respon atas keadaan yang berlangsung, suara masyarakat semakin lantang menolak pencalonan Budi Gunawan. Sepuluh hari berselang sejak KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka, pihak kepolisian menangkap wakil ketua KPK untuk persoalan bertahun-tahun lalu yang dipandang publik sebagai alasan 'yang dicari-cari.' Ironis. Satir. Lucu dan memuakkan pada saat bersamaan.
Semakin banyak yang menanti keputusan tegas Presiden Jokowi atas permasalahan ini. Tokoh-tokoh meminta Budi Gunawan untuk legowo mengundurkan diri demi kemaslahatan bersama. Hampir semua opini yang ditulis tokoh-tokoh pro-KPK di surat kabar maupun media sosial, meminta Presiden Jokowi memperjuangkan KPK dari kriminalisasi.
|
Photo : Tempo.co |
Keadaan simpang siur politik dan hukum seperti ini tentu merugikan. Di masa serba cepat sekarang, dalam hitungan detik berita menyebar ke segala penjuru dunia. Kegaduhan nasional yang sedang dihadapi Indonesia perlu dilihat bukan hanya dari sudut pandang 'pelanggaran hak rakyat dan keadilan sosial' (yang tentunya paling penting), namun juga 'upaya menyelamatkan wajah bangsa di mata dunia.' Tidak dapat dibayangkan apabila Budi Gunawan tetap diangkat menjadi Kapolri, bagaimana masyarakat global melihat wajah penegakan hukum di negeri ini?
Dalam melihat persoalan pencalonan tersangka kasus korupsi, Budi Gunawan, sebagai Kapolri ini, saya menggunakan dua cara pandang :
Pertama : Perspektif Hukum
Untuk menilai kondisi dilematis penuh konflik proses pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia dari kacamata regulasi hukum, tentu menggunakan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pada Bab I 'Ketentuan Umum' dan Pasal 1 ayat 5, dijelaskan tentang apa yang dimaksud dengan 'keamanan dan ketertiban masyarakat,' yakni :
"...suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketentraman, yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat."
Di Pasal 1 ayat 7, disebutkan :
"Kepentingan umum adalah kepentingan masyarakat dan/atau kepentingan bangsa dan negara demi terjaminnya keamanan dalam negeri."
Adapun yang dimaksud dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, adalah pimpinan Kepolisian Republik Indonesia dan penanggungjawab penyelenggaraan fungsi kepolisian (Pasal 1 ayat 14).
Di dalam Pasal 2 disebutkan bahwa fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Dengan menggunakan pasal-pasal awal dari Undang-undang kepolisian ini, Budi Gunawan dan konfliknya dengan KPK, telah dapat memenuhi faktor 'menimbulkan keresahan masyarakat.' Seorang calon pemimpin tertinggi institusi Kepolisian diharapkan dapat menjadi sosok yang menghadirkan rasa aman di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat, bukan sebaliknya.
Tentu rakyat tidak akan menerima apabila pemimpin Kepolisian adalah tersangka kasus korupsi. Terlebih lagi, pernyataan-pernyataan yang muncul, seperti dari Menkopolhukam Tedjo Edhy Purdijatno, "KPK Bukan Dewa," yang dimuat Majalah Tempo (19 Januari 2015), semakin mengesankan memojokkan KPK sebagai institusi negara yang sah dan berwenang dalam memproses dan menindak kejahatan korupsi di Indonesia.
Memang KPK belum tentu benar dan tidak akan pernah selalu benar. Begitu pula dengan Budi Gunawan. Menentukan siapa yang benar itu lah, yang memerlukan proses panjang. Selama kebenaran itu belum disahkan oleh putusan hukum yang in kracht, maka belum ada yang dapat merasa benar dan menuduh yang lainnya tidak benar.
Kedua : Perspektif Politik
Di dalam bukunya, 'Politik Antarbangsa,' pemikir dan profesor ilmu politik Jerman, Hans Morgenthau, menjelaskan tentang politik dan hubungannya dengan kekuasaan :
"Kalau kita berbicara tentang kekuasaan, yang kita maksudkan adalah pengendalian manusia atas pikiran dan tindakan orang lain. Kekuasaan politik merupakan hubungan psikologis antara pihak pelaksana dan pihak yang terkena. Kekuasaan politik memberikan kepada pihak yang disebut pertama pengawasan atas tindakan tertentu oleh pihak yang disebut terakhir, melalui dampak yang diakibatkan pihak pelaksana atas pihak yang terkena.
Pengaruh itu berasal dari tiga sumber : harapan akan keuntungan, rasa takut akan keadaan yang merugikan, dan rasa hormat atau kasih sayang kepada manusia atau lembaga. Kekuasaan itu dapat pula digunakan melalui perintah, ancaman, wewenang atau karisma orang atau jabatan atau gabungan dari mana saja."
Dalam keadaan dimana masyarakat meminta ketegasan dari Presiden Jokowi terkait Budi Gunawan dan statusnya sebagai calon Kapolri, pandangan umum secara cepat melihat adanya peran besar Megawati sebagai Ketua Umum Partai PDI Perjuangan, pendukung Jokowi selama ini. Semasa Mega menjadi Presiden RI, Budi Gunawan adalah ajudannya. Tentu tak sulit untuk masyarakat menyimpulkan bahwa 'restu Megawati bermain sangat penting disini.' Siapapun tentu dapat berasumsi. Adalah kemampuan Jokowi sebagai pemimpin, yang benar-benar diuji dalam keadaan sekarang ini.
|
Megawati dan Budi Gunawan (Tempo.co) |
Teori Morgenthau menyebutkan adanya elemen 'pengendalian manusia yang berkuasa kepada manusia lain' dalam proses politik praktis. Selama ini, Megawati tidak mengekspresikan secara vokal apa yang menjadi arahannya dalam kasus Budi Gunawan ini. Namun sikap partainya sangat jelas. Menggunakan alasan 'nurut di dalam politik' versi Morgenthau, maka kelak masyarakat akan dapat melihat, alasan apa yang menjadi dasar dalam keputusan yang diambil Jokowi. Apakah harapan akan keuntungan, rasa takut kepada keadaan yang merugikan, atau kasih sayang kepada rakyat (manusia) dan negara (lembaga).
|
Sumber : Google search |
Back on Track
Kita tidak dapat berlama-lama dan beramai-ramai menuntut kejelasan situasi politik negeri kepada Presiden Jokowi sebagai pemimpin negara. Kenyataan memperlihatkan, kita berada di antara satu pilihan : maju ke depan dan bersaing. Bukan sebatas diam di kubangan politik dalam negeri, namun dalam modernitas globalisasi.
Opini Joshua Kurlantzick yang dikutip di awal, seakan meninggalkan satu poin penting : perubahan di era saat ini bukan lagi berada di tangan-tangan mereka yang duduk pada pertemuan level tinggi seperti World Economic Forum di Davos atau rapat menteri di Nusa Dua, Bali. Kebijakan perdagangan dunia memang tetap 'dikuasai' WTO dan kroni-kroninya sesama organisasi Bretton Woods. Namun tidak ada yang tidak mengenal atau mendengar kisah Steve Jobs dan inovasinya yang lahir dari dalam garasi.
Kreativitasnya melampaui batas teori, dogma dan retorika. Saya rasa Jobs dan partnernya, Wozniak, tidak fokus menghujat kasus-kasus politik, korupsi, atau apapun pada saat mereka berkolaborasi hingga akhirnya melahirkan apa yang kita kenal dengan 'the greatest innovation tale of all time.' Mungkin anak-anak dari Budi Gunawan atau siapapun politisi Senayan yang sibuk berbicara tentang 'Jokowi harus segera memberi kejelasan masa depan,' adalah konsumen-konsumen produk Apple yang dilahirkan Jobs dengan kalimat menggugah, "here's to the crazy ones, the misfits, the rebels, the troublemakers, the one who see things differently."
Deglobalisasi, apapun maknanya, sepatutnya dipandang sebagai bentuk peringatan. Bahwa persoalan politik (atau segala persoalan domestik) yang berlarut-larut, akan mematikan kesempatan-kesempatan berharga untuk kemungkinan-kemungkinan baru di masa depan. Ketegasan Presiden Jokowi menolak tersangka kasus korupsi untuk menjadi Kapolri, berarti menciptakan kesempatan generasi muda Indonesia untuk percaya bahwa 'masih ada harapan untuk tumbuh di negeri ini.' Bahwa kemajuan dan kehebatan ala Sillicon Valley, Amerika, dapat pula tercipta di sini. Masih ada harapan untuk persaingan yang sehat (healthy competition).
Presiden Jokowi dapat pula menjadi pihak yang berjasa untuk Indonesia dengan tidak melupakan urgensi pemerataan pendidikan, masuknya internet tanpa batasan, serta penguatan sektor kewirausahaan di samping aspek-aspek penting lainnya. Dengan semakin terdidiknya pemuda-pemudi Indonesia yang mahir berinteraksi dalam fase ICT seperti sekarang ini dan berpikir sebagai kreator industri (tak lagi sebatas pekerja), bukan tidak mungkin the misfits, the rebels, the troublemakers who see things differently di Indonesia, akan membawa perubahan signifikan. Bukan hanya di panggung politik, namun pada persaingan ekonomi global yang dimulai dari kemandirian ekonomi bangsa. Bangsa yang kuat adalah bangsa yang bangga pada kemampuan dirinya sendiri. Selama bangsa Indonesia masih memuja segala macam produk, merk, hingga sosok asing, maka selama itu pula kita akan terus kehilangan dan menggerus identitas kita sendiri.
Mari berpikir dalam konteks yang lebih luas, dan biarkan pihak-pihak egois pemuja kemegahan, materi dan jabatan, bernaung di antara mereka-mereka sendiri.
Leave the stupidity behind and keep going. Toh Bung Hatta, salah satu sosok pemimpin terbaik yang pernah dipunyai negeri ini, pernah berkata :
"Keadaan obyektiflah yang menentukan sikap manusia. Sebab itu, sejarah tak hanya bergantung pada segelintir manusia."
|
"Perjuangan kalian akan lebih berat karena melawan bangsa sendiri"
(Bung Hatta)
Sumber : Google Search |
Dengan atau tanpa Budi dan kawan-kawannya, untuk Indonesia yang lebih baik, mari maju bersama-sama memajukan Indonesia. Mari percaya, mari!
Catatan :
1) Tulisan ini adalah pemikiran pribadi, tanpa latar belakang dukungan atau hujatan pada pihak manapun;
2) Penulis adalah warga negara Indonesia, individu yang merdeka dan percaya pada kemerdekaan berpendapat;
3) Pandangan, masukan, apapun, silahkan dilayangkan ke email pribadi penulis : ayunda.afifa@gmail.com
Mari kembali pada tulisan dan bacaan yang menghidupkan semangat berjuang kolektif. Menulis untuk membangunkan pemuda-pemudi Indonesia, yakni kita semua. Untuk mencintai ilmu dan kemandirian berpikir. Hidupkan kembali jiwa Soekarno, Hatta, dan rekan-rekannya. Bahwa maju, berarti menyatu dan berpadu dalam sisa-sisa waktu :)