Lima tahun lalu, di bulan Agustus tahun 2006, saya meninggalkan Jakarta dan sekitarnya untuk memulai hidup baru sebagai mahasiswa ilmu hukum di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Sebagai remaja yang tumbuh besar dengan bacaan di bidang ilmu sosial, sejak masa sekolah menengah pertama saya sudah tahu bahwa ilmu hukum adalah tempat yang (saya rasa) akan tepat untuk saya ambil kelak di jenjang perguruan tinggi. Ketertarikan saya pada isu-isu global, pada perjalanannya membawa saya pada keputusan memilih jurusan ´hukum internasional´ di tahun ketiga saya di sekolah hukum.
Kini, satu tahun lebih sejak saya dinyatakan lulus dalam sidang skripsi/penulisan hukum di bulan Agustus 2010 silam, saya duduk termenung dengan bayangan-bayangan flashback tentang masa-masa saya sebagai mahasiswa hukum.
Saya rasa pendidikan formal (hanyalah) merupakan sebuah proses yang dibentuk sedemikian rupa hingga (terlihat) menjadi tahapan penting dalam kehidupan seseorang di negeri ini atau sekarang ini.
Dalam penjabaran verbal yang lebih sederhana, saya berpandangan bahwa jalur pendidikan tinggi di Indonesia saat ini lebih menjadi produk jualan oleh kalangan universitas atau penyedia jasa, dengan didukung oleh golongan akademis elit yang membentuk cara pandang pluralis bahwa ¨tanpa gelar pendidikan, maka kesuksesan hidup adalah tidak lebih dari sebuah bayangan.¨
Saya selalu mengingat kata-kata atau quote dari Mahatma Gandhi, ¨You must be the change you want to see in the world,¨ saya percaya bahwa saya harus menjadi sosok yang saya harapkan di masa depan. Imajinasi saya akan ´sosok itu,´ menjaga ambisi dan kepercayaan diri saya untuk berjalan menuju jalur yang saya maksud.
Gelar yang saya dapat di bangku kuliah tidaklah lebih dari dua variabel alfabet (S dan H) yang pada akhirnya membuat saya mempertanyakan relevansi dari penempatannya di belakang nama saya, kaitannya dengan sosok ´Siapa Saya´, serta bayangan tentang saya di masa depan.