Saya termenung sesaat, begitu credit title yang menayangkan daftar pihak-pihak di belakang layar pembuatan film Frost Nixon terlihat mengakhiri durasi film besutan Ron Howard ini.
Begitu ‘cantiknya’ permainan pikiran dalam film yang cukup diunggulkan dalam Golden Globe Awards 2009 kemarin ini. Saya bukan membicarakan kemampuan akting 2 aktor utama dalam film based on the true story ini, walaupun tidak dapat dipungkiri, baik Frank Langella yang memerankan Presiden ke-27 Amerika Serikat-Richard Nixon dan Michael Sheen sebagai presenter talkshow Inggris, David Frost, merupakan perpaduan sempurna.
Saya memang tertarik dengan segala hal yang berbau ketata negaraan dalam arti praktikal, diplomasi internasional, dan politik (termasuk skandal di dalamnya). Dan saya dengan semangat’45, menjadikan dvd baja*** film Frost Nixon ini sebagai tontonan ‘malam minggu’ di kamar =)
Tanpa saya sadari sebelumnya, keputusan saya untuk menonton film ini membawa saya pada sebuah pemikiran baru dengan cara pandang yang juga baru terhadap suatu fakta sejarah.
Siapa yang tidak mengenal Richard Nixon sebagai ‘kegagalan nahas dalam sejarah US Presidential History’? Terungkapnya rekaman suara berisi percakapan politik kotornya yang dikenal dengan skandal “Watergate” pada tahun 1971, membuat Nixon dilengserkan US House of Representative dari kursi kepresidenan yang baru 2 tahun dirasakannya. Seluruh Amerika mengutuknya, mengatainya dengan berbagai ungkapan amarah, dan meminta diadakan peradilan khusus terhadap kejahatan dan pengkhianatan yang dilakukan Nixon terhadap negara Amerika yang telah memilihnya.
Namun Wakil Presiden yang mendampingi Nixon, yang selanjutnya menggantikan kedudukannya sebagai Presiden Amerika, yakni Gerard Ford, memberikan maaf terhadapnya, dan meniadakan begitu saja persoalan atas skandal watergate yang tersohor itu. “Selamat lah” Richard Nixon kala itu.
Hal yang membuat kemarahan publik Amerika semakin besar adalah, fakta tidak adanya ungkapan atau pengakuan dari Richard Nixon atas kesalahan yang diperbuatnya tersebut.
Bahkan tidak pernah ada kata maaf dari mulut Nixon, hal yang mungkin saja dapat membuatnya ‘sedikit’ kembali diterima oleh warga Amerika saat itu. Keterdiaman Nixon membuat begitu banyak jurnalis Amerika berusaha untuk melakukan wawancara terhadapnya, dengan tujuan utama: mengoreknya secara langsung di hadapan kamera, menjatuhkan sang mantan presiden, dan membuatnya malu. Dapat dimaklumi tujuan itu menjadi tujuan utama para jurnalis saat itu, karena siapapun yang bisa melakukan hal itu, pasti akan mendapat keuntungan banyak. Mulai dari nama besar, dielu-elukan oleh Amerika, dan dianggap sebagai pahlawan.
Begitulah yang ada di pikiran presenter talkshow selebriti asal Inggris, David Frost, yang memiliki show di Inggris dan Australia. Ia berharap dapat ‘menaklukkan Amerika’ lewat wawancara impiannya dengan Nixon.
Ketika ia terpilih menjadi pewawancara satu-satunya Richard Nixon setelah tidak lagi menjadi Presiden Amerika Serikat, Frost dihantui dengan ketidakyakinan khalayak ramai perihal kemampuannya yang biasanya hanya mewawancarai artis dan kalangan entertainer semata, tiba-tiba malah mewawancarai mantan Presiden Amerika Serikat.
Tapi tanpa dinyana, Frost justru mampu mengukir sejarah menjadi satu-satunya pewawancara Nixon sepanjang karir politik sang mantan Presiden, yang dapat membawa Nixon pada mimik penuh sesal, sedih, kesendirian yang terlihat jelas, linglung, dan satu hal yang mengagetkan: Di akhir wawancara tersebut, Nixon mengakui kesalahannya, mengakui tamatnya riwayat karir politik yang dimilikinya, dan mengakui pengkhianatannya terhadap bangsa Amerika.
Wawancara inilah yang membawa David Frost pada kesuksesan dan kegemilangan karir sepanjang hidupnya. Ia dielu-elukan dunia pada saat itu, meraih apa yang selama ini dinantikannya: pengakuan atas eksistensinya sebagai seorang jurnalis, dan kehormatan.
Saya selalu mencoba mencari hal-hal positif yang dapat saya tiru dan pelajari dari sebuah film yang saya tonton. Baik itu film lokal atau asing, saya selalu mencoba mencari hal tersebut.
Dan saya menemukan begitu banyak hal dari film Frost Nixon ini.
Saya jadi menyadari betapa dekatnya dunia politik dengan kehancuran harga diri seseorang. Dunia ini mampu ‘mengangkat tinggi’ seseorang dari tidak ada menjadi ada.
Lewat dunia ini, uang dan kredibilitas seakan mampu mengikuti kemanapun sang politisi pergi, dengan catatan: ia adalah politisi mumpuni, bukan politisi karbitan yang cuma sesaat numpang nongol dan numpang lewat.
Saya juga melihat dengan jelas dalam film ini: Kesuksesan tidak datang dari langit, tapi datang dari perjuangan yang kita lakukan. David Frost yang selalu dipandang sebagai pembawa acara talkshow selebriti, berupaya keras menghargai kesempatan berharga yang ia dapatkan lewat mewawancarai Nixon.
Ia mempekerjakan 1 orang wartawan Amerika dan 1 orang penulis buku anti Richard Nixon, guna menemani dan membantunya melakukan riset terhadap Richard Nixon melalui kumpulan arsip dan rekaman-rekaman yang melibatkan sang mantan presiden semasa kepemimpinannya.
Ia mampu memanfaatkan kesempatan yang ada di hadapannya, menjadi sebuah tantangan keras terhadap dirinya dan kepercayaan dirinya sendiri. Hal yang mungkin sering saya anggap remeh dalam hidup. Saya terlalu biasa menomorsekiankan pekerjaan, terlalu mengikuti ‘apa yang sedang saya mau’.
Tapi Frost seakan membukakan mata saya dengan berteriak: Hey, life can’t wait!
Dan dari sosok Richard Nixon dalam film ini, saya menemukan fakta yang membawa saya pada pemikiran: Setiap manusia memiliki hati nurani.
Entah itu tersimpan dimana, tapi Nixon, yang setelah ia dilengserkan dari kursi kepresidenan selalu melakukan pertahanan terhadap kritik yang dilancarkan terhadap dirinya, pada akhirnya mengalahkan egoismenya sendiri dan mengikuti kata hatinya: mengakui kesalahannya.
Politisi manapun pasti akan berpikir 2 atau bahkan ratusan kali untuk urusan mengakui skandal yang melibatkan dirinya dan berpeluang menghancurkan karir politiknya selama-lamanya. Tapi Nixon pada akhirnya memilih jalan yang lain, yang mungkin justru akan membuat beban hidupnya sedikit lebih ringan.
Dan tidak akan saya melewatkan kenyataan yang satu ini: Sosok Richard Nixon adalah perpaduan antara politikus handal dan politikus busuk. Ia mampu membuat lawan bicaranya merasa terintimidasi dan melakukan kesalahan-kesalahan dalam pembicaraannya sendiri, sehingga otomatis ‘kemenangan’ perdebatan antara keduanya berada pada Nixon, si intimidator.
Tapi di lain sisi, gaya bicaranya yang sangat diplomatis, pemikiran-pemikirannya yang sangat memperlihatkan kepandaiannya menjawab, membuat saya menyadari, bahwa ia adalah politikus yang memiliki otak dalam arti sebenarnya.
Sungguh jarang saat ini, melihat dan ‘menemukan’ isi pembicaraan berbobot dari para politisi negeri ini. Menjelang pemilu 2009, yang ramai adalah ‘kampanye’. Entah berapa ratusan ribu bendera partai, poster, pamflet, brosur, dan lain-lainnya yang ‘mewarnai’ sudut jalan? Mereka semua seakan berlomba dalam pertarungan yang dinamakan: Menuju RI-1.
Atau mungkin: Menuju entah-apa lah-itu.
Apa yang sebenarnya dicari oleh para politisi di luar sana? Kemenangan? Sorak sorai? Gegap gempita dari pendukung bayaran? Atau hanya kepuasan batin?
Karena politik sebetulnya bukan soal menang atau kalah, menurut saya. Tapi soal apa yang mampu dihasilkannya kemudian. Apakah rakyat membaik kehidupannya? Apakah perekonomian menjadi lebih bersahabat? Apakah negara menjadi damai?
Hati-hatilah dengan usaha anda untuk menang, wahai para politikus negeri ini. Karena lewat film Frost Nixon, anda dapat menyaksikan sendiri : Betapa jarak antara kedigdayaan dengan kehancuran = begitu dekat.
Siapkah anda semua untuk menjadi pemenang? Tentu.
Tapi siapkah anda semua untuk merasakan kehancuran setelahnya?
*Hening*