24 September 2010

Laut Cina Selatan, Politik Bebas Aktif Indonesia, dan Hegemoni Bangsa Han


Hari ini, 24 September 2010 (waktu Amerika Serikat), bertempat di Sekretariat Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), akan diadakan makan siang bersama antara Presiden Barack Obama dengan para pemimpin ASEAN (Association of South-East Asian Nations). Pertemuan yang dinamakan dengan US-ASEAN Summit ini diyakini banyak pihak akan membahas perang klaim Laut Cina Selatan yang semakin memuncak antara beberapa negara anggota ASEAN yang merasa memiliki faktor kekuatan sejarah dengan kawasan perairan ini (let say Vietnam, Filipina, Thailand dan Malaysia), terlebih lagi dengan semakin besarnya sikap egosentris yang ditunjukkan Cina dengan mengklaim sepihak bahwa Cina lah yang paling berhak untuk mengeksplorasi kekayaan alam yang terdapat sepanjang kawasan ini.


Pertanyaan mendasar adalah: Mengapa Laut Cina Selatan?


Jawaban secara singkat dapat diberikan seperti ini : "Kawasan Laut Cina Selatan kaya akan cadangan minyak dan gas alam."

Secara lebih lengkap, alasan paling jelas mengenai mengapa timbul pertentangan dan perang klaim antara banyak negara perihal penguasaan atas kawasan ini adalah seperti yang dijelaskan dalam analisis peneliti CSIS berikut ini :


"Potensi minyak yang terdapat pada Laut Cina Selatan adalah 213 Milyar barel, sedangkan kekayaan minyak yang belum tereskplor dari kawasan ini diperkirakan sebesar 28 Milyar barel. Pada dua pulau yakni Spratly Island dan Paracel Island dinyatakan terdapat endapan minyak sebesar 105 Milyar barel."


Angka-angka pasti belum dapat diberikan untuk kekayaan gas alam kawasan Laut Cina Selatan, namun hal ini telah lebih dulu diantisipasi oleh Pemerintah Cina (Husky Energy bekerjasama dengan Chinese National Offshore Oil Corporation) dengan melangsungkan ekspedisi pencarian cadangan gas alam di sekitar Spratly Island , dan mengungkap keberadaan 900 trillion cubic feet (Tcf) hanya pada satu pulau saja.


Jelas lah sekarang mengapa sejak tahun 1974 hingga yang terakhir pada tahun 2002 silam, terdapat beberapa kali military clashes antara beberapa negara yang merasa memiliki hak lebih atas kawasan Laut Cina Selatan, semuanya kembali pada faktor kekayaan alam dan keinginan untuk menguasai hal tersebut melebihi negara manapun. 


Konflik demi konflik terus mengemuka, hingga akhirnya Amerika Serikat mengambil peranan dalam The ASEAN Regional Forum (ARF), sebuah forum yang diadakan salah satunya guna mengeliminasi 'perang dingin' antara beberapa negara yang memiliki kepentingan terhadap Laut Cina Selatan dan kawasan di sekitarnya. Partisipasi Amerika Serikat pada pertemuan ini disikapi dingin oleh beberapa perwakilan negara pada saat itu, salah satunya dapat dilihat dari pendapat yang diucapkan oleh Menteri Luar Negeri Malaysia, Syed Hamid bin Syed Jaafar Albar : "ASEAN territorial issues were matters for ASEAN discussion, not other international forums."

Indonesia sebagai salah satu negara anggota ASEAN memainkan peran yang cukup signifikan dalam proses penyelesaian kasus ini. Pada tahun 1990, Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggaraan "The First Dialogue Workshop"honest broker yang dipilih untuk diperankan oleh Indonesia dalam kasus regional ini bukanlah sesuatu yang tidak beralasan. Melalui pakar hukum lautnya, Hasjim Djalal, Indonesia menegaskan untuk tidak ikut mengklaim salah satu dari dua pulau kaya minyak yang diperebutkan, yakni Spratly Island dan Paracel Island. Hal ini jelas berbeda dengan keteguhan yang dimiliki Vietnam, Thailand, dan Filipina yang terus mengupayakan pembagian keuntungan (profit sharing) dari dua pulau tersebut dengan mengutamakan basis sejarah sebagai alasan utama klaim. Posisi satu-satunya yang mengkaitkan Indonesia dengan konflik teritorial berkepanjangan ini hanyalah : Pulau Natuna (Natuna Island).



Pulau dengan cadangan gas alam sebesar 46 trillion cubic feet (Tcf) ini tidak menjadi bagian dari pertentangan negara-negara lainya hingga pada tahun 1996, Pemerintah Cina merilis peta resmi wilayah penguasaan Cina termasuk batas-batas maritim di dalamnya, dan mengakui Pulau Natuna sebagai salah satu bagian di dalamnya. Pemerintahan Soeharto pada saat itu bereaksi dengan mengirimkan pasukan militer untuk berjaga-jaga di sekitar area kepulauan Natuna, dan mulai melaksanakan proyek produksi gas besar-besaran, yang ternyata tidak disikapi dengan keras oleh Cina.

Peran yang dimainkan oleh Indonesia tidak berhenti sampai disitu, karena pada bulan Juli 2010 kemarin, perwakilan Indonesia (Perwakilan Tetap Republik Indonesia-PTRI New York) mengirimkan tulisan pada UN Commission on Limits of Continental Shelf (CLCS) untuk selanjutnya disebarluaskan kepada seluruh negara anggota PBB, mempertanyakan beberapa klaim yang dilakukan Cina atas kawasan Laut Cina Selatan. Hal ini cukup menimbulkan beragam reaksi dari dunia internasional, seperti salah satunya yang diulas di dalam web The Economist , yang menyimpulkan bahwa " Indonesia's letter is to show just how worried the region is by China's approach."

Benarkah Indonesia khawatir akan sepak terjang politik internasional yang dimainkan bangsa Han terhadap kawasan Laut Cina Selatan? Secara garis besar, keberadaan Laut Cina Selatan berdampak pada volume perdagangan internasional Indonesia dengan beberapa partner loyalnya, seperti Jepang. Arus perdagangan antara kedua negara ini terbukti 3 kali lebih besar dibandingkan dengan yang dilakukan antara Indonesia dengan Cina (walaupun setelah Asian-China Free Trade Agreement diluluskan pada 1 Januari 2010 kemarin). Dan peta ekspor impor antara Indonesia-Jepang sudah tentu melibatkan Laut Cina Selatan. Hal ini dapat dipandang sebagai salah satu unsur kecil (kalau tidak dapat dikatakan sangat kecil) yang menjadi pemikiran Indonesia untuk turut mengeliminasi besarnya porsi kedigdayaan Cina pada kawasan Laut Cina Selatan. Sekali lagi, it's politics we're talking about. And commerce means money politics, isn't it?

Tidak banyak yang dapat dilakukan oleh Indonesia ke depannya untuk mengambil peran signifikan dalam resolusi konflik kawasan ini, melainkan menjadi penengah dalam negosiasi yang ke depannya akan sangat mungkin diperlukan, mengingat aturan yang terdapat di dalam United Nations Conventions on the Law of the Sea 1982 tentang pemecahan masalah batas teritorial laut dan perairan adalah melalui good faith negotiations (walaupun UNCLOS belum secara langsung dilibatkan dalam proses pemecahan masalah kawasan Laut Cina Selatan ini).

Kalau Indonesia dapat secara mulus memainkan peran positif sebagai wujud implementasi nyata dari faham politiknya "Bebas dan aktif" pada pemecahan kasus perang klaim Laut Cina Selatan ini, tentunya akan menjadi 'obat' yang ampuh untuk mengobati luka masyarakat Indonesia yang terlalu kecewa dengan pembenaran politik bebas aktif (kalau tidak dapat dikatakan sebagai bebas-lemah-aktif) Indonesia dalam rentetan konfliknya dengan Malaysia. Mungkin ini bisa pula membuktikan bahwa pemerintah Indonesia memilih scope permainan politik yang lebih menantang, lebih dari sekedar perjalanan diplomasi antara Pejambon dan Putrajaya.

Ayunda Tafsa Afifa
International law student, Gadjah Mada University'11

Sources:
(1). Country Analysis Briefs, Energy Information Administration (EIA);
(2). CIA World Factbook;
(3).TheEconomist:http://www.economist.com/blogs/banyan/2010/08/indonesia_and_south_china_sea

No comments: