14 November 2011

Surat Terbuka Untuk Ayah : Patria o Muerte, Papa!


Teruntuk seorang lelaki yang ku kenal 23 tahun lamanya sembari menarik nafas di bumi. 

Surat terbuka untuk Ayah. 

Pernah ada suatu hari di dalam lembaran memori otak ku yang tidak ada apa-apanya ini, aku mendengar Ayah berkata, ¨Kalau kamu banyak makan sayur, maka kamu akan bisa terbang seperti burung di angkasa sana.¨

Dengan ketololanku di usia itu, aku percaya. 

Aku ingat betapa seringnya sejak saat itu aku mengkonsumsi sayuran, ditambah dengan kelezatan masakan ibu tercinta, seorang ibu rumah tangga yang membaktikan dirinya untuk keluarga, aku semakin berharap hari itu akan tiba. Hari dimana aku akan bisa menyapa burung-burung di angkasa raya dan mentertawakan entitas-entitas kecil yang terlihat dari ketinggian di atas sana.

Ayah, dengan bertumbuhnya aku dan pribadiku sebagai manusia, aku tersadar bahwa semua itu hanya untaian kata yang sengaja Ayah rangkaikan untukku, agar aku mau memakan sayuran, yang semuanya tidak lebih untuk alasan kesehatan.

Namun lebih daripada itu, sesungguhnya terselip satu makna dari kalimat yang Ayah berikan padaku saat itu, yang hingga saat ini tanpa Ayah sadari selalu membuatku mengingat lagi kata-kata Ayah dulu itu: Bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, termasuk untuk terbang lebih tinggi daripada rasionalitas yang ada, menerjang jauh segala paradigma dan terlepas dari belenggu norma-norma. 

´MUSTAHIL´ tidak lebih dari sebuah kata, bukan begitu Ayah?

Ayah, bukan kah bukannya tidak mungkin kita sebagai anak bangsa Indonesia yang selalu disebut sebagai generasi yang datang dari negara dunia ketiga oleh para penjajah imperialis dari negeri seberang, akan dapat suatu hari nanti berdiri tegak menyatakan, ¨Kami putra-putri Indonesia, bukan putra-putri negara dunia ketiga,¨ bukankah begitu, Ayah? 

Ayah, kita -manusia- adalah saksi sejarah. 

Dengan hampir setengah abad usia Ayah, tentu Ayah ´menyaksikan´ sendiri bagaimana dulu mahasiswa-mahasiswa di tanggal 15 januari 1974, memblokade pangkalan udara Halim Perdanakusuma untuk menolak kedatangan perdana menteri Jepang (Tanaka Kakuei) dan pihak asing yang ingin menegosiasikan perihal modal asing di negeri kaya raya ini? Aku yang belum terlahir ke dunia pada saat itu, dewasa ini cukup terkesima membaca cerita tentang Malapetaka Limabelas Januari (Malari) di beragam media dan buku sejarah.

Seorang anak menyaksikan mahasiswa berdemonstrasi dalam peristiwa Malari
(Source; Google Search)

Mengapa pemimpin Indonesia seperti pada saat itu Soeharto, dengan dalih kebutuhan negara atas investasi asing, seakan takut dan gentar terhadap mereka-mereka yang disebut-sebut sebagai Negara Dunia Kesatu atau well developed nations? Mengapa pemimpin seperti Soeharto malah berbalik menentang rakyatnya, mengerahkan pasukan militernya untuk membubarkan demonstrasi para mahasiswa? 

Ayah, ketika di tahun 1993, lima tahun usiaku, aku tidak tahu bahwa di bulan Mei telah terbunuh seorang  wanita Indonesia yang berteriak meminta keadilan untuk dirinya dan teman-temannya sesama buruh pabrik di Jawa Timur. Marsinah -wanita itu- disiksa hingga tewas setelah beberapa lamanya memperjuangkan hak para pekerja pabrik untuk meminta kenaikan gaji dari seribu tujuh ratus rupiah menjadi  dua ribu dua ratus lima puluh rupiah.

Ia, Marsinah, adalah sosok warga negara Indonesia yang meminta haknya dari pengusaha berkelas yang memompa tenaga para manusia yang digajinya lalu memaksimalkan pencapaian keuntungan tanpa mempedulikan hak-hak dasar seorang manusia. Marsinah tewas tanpa daya dan tanpa upaya aparat pemerintahan dalam mengusut tuntas kasus tragis pembunuhannya. Semua terdakwa pada akhirnya diputus bebas murni oleh yang memiliki kekuasaan di dunia hukum Indonesia, yang katanya terhormat dan membela semua rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Prek cuih.

Ayah, kalau memang benar kata-kata itu, bahwa dengan sayuran maka kita manusia akan dapat terbang tinggi, dapatkah aku terbang dan tak kembali kesini? 

Pergi jauh dari tempat dimana anak-anak mudanya dibuat tuli oleh pekak kesenangan yang membuat lupa akan realita.

Dimana jurang antara si kaya dan si miskin bahkan telah menjajah dan menganga lebar di institusi terhormat bernama lembaga pendidikan. 

Dimana begitu banyak orang tua murid yang harus berhutang untuk melunasi SPP anaknya. 

Dimana begitu banyak orang tua yang tidak lagi mengajarkan sopan santun pada anaknya sehingga anaknya tidak menaruh hormat pada pesuruh, pada saudaranya sendiri yang mau-tidak-mau harus bekerja dan disebut  sebagai pembantu. 

Mengapa kita berteriak marah pada pemimpin sebuah lembaga pendidikan yang memberi penghargaan pada raja suatu negeri yang (katanya) tidak bertindak manakala banyak tenaga kerja wanita kita disiksa di negerinya, mengapa kita marah? Di tanah ini sendiri, di tanah kelahiran mereka sendiri, para pekerja rumah tangga itu juga banyak yang dimarjinalkan oleh kaum berduit yang menganggap dirinya bertingkat-tingkat lebih baik dibandingkan seorang manusia lulusan SD dari daerah perkampungan yang datang ke kota untuk membuat berkilau lantai rumah dan menyuapi anak-anak si orang kaya tersebut.

Ayah, kalau memang benar kata-kata itu, bahwa dengan sayuran maka kita manusia akan dapat terbang tinggi, dapatkah aku terbang dan tak kembali kesini? 

Mengapa aku harus bertahan di suatu negeri dimana televisi dan medianya dikuasai oleh para politisi berduit melimpah? 

Apalah hakikat dari distribusi informasi dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara selain meluruskan yang tidak lurus dan membenarkan yang tidak benar? 

Apakah media yang dikuasai borjuis yang tega menenggelamkan sebuah desa bernama Sidoarjo lewat perusahaan keluarganya, maka akan dapat kita jadikan pegangan untuk mengetahui kebenaran? 

Apakah media yang dikuasai oleh pengusaha kaya yang menghabiskan milyaran rupiah untuk merayakan ulang tahun pernikahannya yang disorot oleh tiga stasiun televisi miliknya, yang berarti disaksikan jutaan mata rakyat Indonesia, yang mungkin ada di antara mereka adalah petani, buruh pabrik, nelayan, pekerja rumah tangga, pemotong rumput, penjaga ronda, apakah patut kita menatap layar milik orang tanpa kharisma dan empati pada sesama?

Terbangkan aku, wahai Ayahku. Ke sebuah negeri dimana pemimpin tidak hanya berbadan besar dan bergelar kehormatan dari negera ini dan negara anu, tapi juga mampu berkata-kata berani selain hanya menebar kata ´saya prihatin´ dan mengundang iba seluruh negeri.

Terbangkan aku, wahai Ayahku. Ke sebuah negeri dimana aku dapat bertemu dengan para anggota dewan yang tidak hanya menderetkan jumlah rodanya di dalam garasi lalu berteriak ´selamatkan bumi´ di televisi dan berdalih bahwa ia peduli pada isu perubahan iklim, dimana di saat yang sama ia adalah salah satu konsumen terbesar bahan bakar minyak di negeri ini.

Terbangkan aku, wahai Ayahku. Ke sebuah tempat dimana para manusia terhormatnya tidak tanpa malu mencari-cari apel malang dan apel washington untuk dikonsumsi perut-perut keturunannya.

Terbangkan aku, wahai Ayahku. Ke sebuah masa di mana aku telah mampu mengimplementasikan kata-kata dan mimpiku menjadi sebuah proses nyata untuk meneriakkan yang benar itu benar dan yang salah itu salah. 

Apa yang benar dan apa yang salah, merupakan sebuah subyektifitas yang seperti diungkapkan Hume dalam salah satu konversasinya dengan Socrates, ¨All truth are easy to understand once they are discovered. The point is to discover them.¨

The point is to discover the truth, Ayah.

Maka Ayah, andaikata aku dapat terbang pun, aku akan tetap disini. 

Andaikata aku mengepakkan sayapku terbang, aku akan kembali.

Andaikata kini aku telah berada di bagian lain dari bumi kelahiranku, tempat asal darahku mengalir, tidaklah lebih untuk ´mencuri´ apa-apa yang dimiliki bangsa lain dan belajar banyak dari mereka, untuk suatu waktu membangun bangsaku sendiri.

Ayah, ceritamu tentang sayuran dan ´kebohongan´ mu tentang kebisaanku untuk terbang, telah menjadi suatu cerita bermakna yang melebihi apa yang bisa ditangkap oleh sebuah penalaran belaka. 

Terima kasih Ayah, terima kasih untuk menjadi sosok yang membuatku terus bertanya. Terima kasih untuk menumbuhkanku dengan cara yang tak biasa. Terima kasih untuk segala kesederhanaan yang Ayah bina agar selalu ada dalam keluarga ini. 

Karena sesungguhnya Ayah, lewat pertanyaan-pertanyaan itu lah aku tidak cepat menjadi puas dan menerima pembenaran manusia di sekitarku. Dengan cara yang tidak biasa itu lah aku memperjalankan diriku dalam petualangan-petualangan untuk sebanyak mungkin melihat dunia ini. Dan sesungguhnya, menjadi sederhana adalah sebuah cara terhormat untuk hidup saat ini. Karena kini, tidak ada yang lebih berharga dari sebuah harga diri.


Surat terbuka untuk Ayahku, seorang manusia yang terus bertanya dan mengajarkanku untuk terus pula bertanya.


Semoga sayap ini cukup kokoh menjaga ku hingga kembali. Patria o muerte, Papa!




Putri pertamamu yang berada 3 jam penerbangan dari pegunungan Sierra Maestra, tempat terlaksananya revolusi kuba, revolusi yang berasal dari mimpi-mimpi pemuda :)

2 comments:

papa said...

Come back soon to INDONESIA my little girl! The world out there is cruel and dangerous! In Indonesia, this is the land of opportunity, where you can turn your self not only to fly but also to be a giant! There will be a time when you and people who shared the same vision like you will take over this country. And its sooner than you think :)

MONIKA said...

mba, ijin share ya mba? makasih sebelumnya :)