Tidak ada yang tahu bahwa merasa tahu adalah bentuk akan ketidaktahuan itu sendiri. Tidak pula saya hingga pada satu masa saya diperjalankan ke belahan bumi yang lain dan tiba pada satu fase dimana keingintahuan saya akan luasnya dunia, bertemu dengan suatu bentuk kesadaran bahwa saya tidak lebih dari sebuah bagian dari apa yang disebut Gertrude Stein di tahun 1920-an di kota Paris dengan sebutan ¨a génération perdue¨ atau ¨lost generation.¨
Gertrude Stein (Image: Google) |
Tentunya ada masa-masa dimana saya larut dalam kebanggaan akan apa-apa yang saya rasa saya ketahui melebihi orang lainnya, yang ternyata kini saya simpulkan sebagai sebuah kenyataan bahwa saya tidak lebih dari seorang manusia yang sebetulnya tidak tahu apa-apa melainkan apa yang saya ketahui tersebut. Sebatas itu. Sesempit itu. Ketika saya terbangun di satu malam dan berpikir tentang berapa sesungguhnya jumlah manusia di dunia pada waktu saya berpikir sekarang? Berapa banyak mereka yang masih terbangun menjelang pukul tiga pagi waktu kota Lima ini? Mungkin tidak seberapa banyak, karena asumsi saya pada waktu menjelang pagi lumrahnya kebanyakan manusia sudah berada di peraduannya masing-masing. Mungkin beberapa yang bekerja di malam hari masih terjaga, seperti para petugas keamanan yang merelakan waktu tidurnya demi sedikit rezeki, jauh lebih sedikit dari jumlah yang didapat mereka-mereka yang bekerja ditemani sinar matahari. Atau wanita yang masih berdiri di sepanjang Avenida Arequipa, menunggu calon pelanggan merapat dari kendaraannya masing-masing dan menawar harga untuk memenuhi kebutuhan seksualitas mereka di waktu yang semakin sempit. Atau mungkin petugas pengisi bahan bakar yang membalut diri dengan seragamnya yang tampak seperti membantu mereka terhindar dari terjangan angin malam namun tidak lebih dari sebuah fatamorgana bagi siapapun yang melihatnya karena petugas-petugas tersebut kenyataannya, menderita dalam kebekuan malam menjelang pagi kota Lima. Ah tapi tahu apa saya ini!
Siapa yang tahu apa yang ada di dalam pikiran mereka yang masih menatap kota di waktu larut seperti sekarang ini? Saya tidak pernah tahu. Namun pentingkah untuk mengetahui itu? Perlukah mengetahui apa yang dipikirkan oleh manusia lain? Pernah saya berada dalam suatu masa dimana saya beranggapan, ¨mengerti dan memahami cara berpikir orang lain adalah suatu bagian dari menjadi seorang manusia dewasa.¨ Namun pentingkah mengerti dan memahami orang lain? Saya menghabiskan waktu mencoba mengerti pemikiran orang lain ketika semestinya dalam kurun waktu tersebut saya sekiranya dapat mencoba untuk mengerti diri saya sendiri. Terlampau sering berada di antara keramaian, membuat manusia kehilangan kesadaran akan jati dirinya sebagai satu makhluk yang diciptakan dalam kesendirian.
Saya mulai memikirkan beberapa hal yang perlu saya ketahui, yang sepatutnya saya ketahui dalam kadar yang cukup, hingga hal-hal yang hanya akan menjadi gurauan saya seorang di dalam larutnya malam. Salah satu hal yang memenuhi ketiga faktor pembeda tersebut adalah perihal kehidupan para penulis Amerika di kota Paris pada pertengahan tahun 1920-an. Di kota itu, pada masa yang tersebut kan, para penulis buku legendaris seperti Scott Fitzgerald (The Great Gatsby), Ernest Hemingway (The Sun Also Rises), Ezra Pound (Huh Selwyn Mauberley), hingga James Joyce (yang begitu membuat saya terpukau dengan A Portrait of the Artist as a Young Man), bermukim dan berkawan satu sama lain. Melalui pertemuan-pertemuan singkat di beberapa kedai kopi kota Paris yang ditemani dengan perdebatan dan perbincangan mereka perihal masa depan di dunia literatur, membuat Paris di tahun-tahun tersebut seakan hidup dalam lembayung kecemerlangan intelektualisme.
Hemingway and friends in Paris (Image: From A Moveable Feast) |
Saya menenggelamkan waktu, pikiran, hingga khayalan-khayalan akan kehidupan pada masa tersebut melalui enam hari yang saya habiskan untuk membaca ¨A Moveable Feast,¨ sebuah karya Ernest Hemingway yang menceritakan kehidupannya di kota Paris tepat di pertengahan tahun 1920-an. Saya tidak tahu apakah ada yang setuju maupun tidak setuju (saya bahkan tidak tahu apakah ada yang membaca tulisan saya ini), namun keterpukauan saya akan suatu konsepsi kehidupan yang begitu bahagia dalam suatu balutan tekstur ketidakberpunyaan yang dibarengi dengan kekayaan konversasi serta dinamika sentimentalisme tulisan demi tulisan, adalah seakan menolak suatu pemahaman akan hidup milik paham kontemporer masa kini. Saat ini, atau lebih tepatnya sejak bulan November tahun 2010 silam, saya bermukim di kota Lima, dimana makna keberpunyaan cukup saya simpulkan sebagai suatu kemampuan untuk menikmati setidaknya empat cangkir kopi hitam dalam sehari, pastel de acelga atau empanada de carne di pagi hari, satu set makan siang, dan terkadang makan malam yang saya sesuaikan dengan keinginan. Merasa kenyang dalam arti yang sesungguhnya dan merasa kenyang dalam pemikiran (yang saya hadirkan melalui aktifitas membaca dan menulis), adalah pencapaian klimaks akan kemewahan hidup bagi saya yang sendiri di kota ini. Sehingga ´menyaksikan´ cara hidup Hemingway yang menyengsarakan diri dalam hal-hal material selain dunia buku dan gastronomi, tidak membuat saya heran atau terlampau heran.
Hemingway dan Hadley, istri pertamanya, semasa tinggal di kota Paris, hidup dalam apa yang disebut keterbatasan materi paska Hem (panggilan untuk Hemingway dari beberapa orang yang dekat dengannya) memutuskan untuk berhenti total dari profesinya sebagai jurnalis. Meskipun sumber pendapatannya tidak lain dan tidak bukan adalah dari peruntungannya mengirimkan tulisan demi tulisan fiksi ke beberapa editor majalah dan penerbit, namun Hem mengatakan pada Hadley bahwa apapun dan bagaimanapun kehidupan mereka, menikmati wine terbaik di restoran di kota Paris adalah suatu keharusan. Dalam salah satu bagian di dalam A Moveable Feast, Hem menuturkan betapa ia seakan lupa dengan jenis minuman lain selain wine yang selalu menemani waktu makannya. Tanpa dana untuk membeli pakaian terbaik di kota Paris pada masa itu, Hem dan Hadley seakan menciptakan sebuah konsepsi kebahagiaan yang begitu platonic, namun sangat manis untuk disimak oleh saya yang seorang platonis sejati. Ehm! Mereka menikmati makan siang di bawah rindangnya pepohonan yang berada di sekitar sungai Seine, kadang terlelap setelahnya, dan menutup hari dengan saling bermesraan menutup malam. Keduanya membiarkan masing-masing dari mereka hidup dalam kecintaan subyektif terhadap beberapa hal yang saling berbeda satu dengan lainnya, namun pada akhirnya mereka tahu bahwa mereka adalah satu yang saling berpadu. Di dalam ¨Secret Pleasures,¨ masih dari A Moveable Feast, Hemingway menceritakan tentang satu kegemaran yang diciptakannya dengan Hadley, yakni memiliki panjang dan model rambut yang sama. Dalam salah satu perbincangan mereka perihal ide menciptakan potongan rambut yang persis sama, keduanya sampai pada perdebatan tentang bagaimana sekiranya orang lain akan menatap mereka dan ´keunikan´ ini.
(Hem) : ¨It´s wonderful the way it is.¨
(Had) : ¨I´ll cut yours across now to make the line.¨
(Hem) : ¨Do you think we should?¨
(Had) : ¨Of course. Wasn´t that what we said?¨
(Hem) : ¨It will look sort of funny maybe.¨
(Had) : ¨Not to us. Who are the others anyway?¨
(Hem) : ¨Nobody.¨
Ernest and Hadley (Image: A Moveable Feast) |
Dalam kesehariannya, Hemingway memulai hari dengan ditemani café crème di kafe favoritnya yang terletak di Place St Michel, merangkai kata demi kata untuk kemudian mengirimkannya, mencoba peruntungannya di tangan editor demi editor, yang seakan menjadi penentu kehidupan Hem dan Hadley kala itu. Pada masa tersebut, Hemingway belum menghasilkan novel dan masih memusatkan karya tulisnya pada cerita-cerita pendek. Pada pukul tiga, Hem baru akan teringat perihal makan siangnya, hal yang pada satu hari menjadi topik perbincangan antara dirinya dengan Sylvia Beach, pemilik toko buku kesayangan Hemingway di kota Paris yang bernama Shakespeare and Company, yang kerap kali memberi Hemingway kesempatan untuk meminjam baca buku-buku pilihannya tanpa membayar sedikitpun dan membawanya pulang untuk dikembalikan dalam beberapa hari ke depan. Di dalam ¨Shakespeare and Company,¨ yang masih berada dalam A Moveable Feast, Hemingway mengungkapkan Sylvia dengan kalimat, ¨no one that I ever knew was nicer to me.¨ Bagi Sylvia, Hemingway adalah sosok penulis yang dapat dipercayanya, terlepas dari kenyataan bahwa Hem tidak memiliki uang, namun Sylvia mempercayainya dan menganggap Hem seperti sahabatnya sendiri. Seperti ditunjukkan dalam ¨Hunger Was Good Discipline,¨ Hem menggambarkan bagaimana Sylvia mengingatkannya untuk tidak melupakan waktu makan.
(Beach) : ¨You´re too thin, Hemingway. Are you eating enough?¨
(Hem) : ¨Sure.¨
(Beach) : ¨What did you eat for lunch?¨
(Hem) : ¨I´m going home for lunch now.¨
(Beach) : ¨At three o´clock?¨
(Hem) : ¨I didn´t know it was that late.¨
(Beach) : ¨Get home now before it´s too late for lunch.¨
(Hem): ¨They´ll save it.¨
(Beach) : ¨Don´t eat cold food either. Eat a good hot lunch.¨
Ernest Hemingway and friends, in front of Shakespeare and Company, Paris (Image: Google) |
Di tangan Hemingway, suatu keadaan lapar yang di dalam bahasa Indonesia apabila dirangkaikan dalam satu kata (kelaparan) akan menjadi suatu paradoks akan imajinasi orang kebanyakan perihal kota Paris dimana kehidupan adalah suatu keindahan yang biasa dibahasakan dengan C´est la vie, saya mendapat kesan bahwa merasakan lapar di dalam dunia seorang Hemingway adalah merupakan suatu kenikmatan, atau bahkan apabila terkadang ia terkesan mengeluhkannya, hal tersebut terlihat sebagai keluhan yang sekedarnya. Keluhan bagi Hemingway adalah apabila Ia terpisahkan dari lembaran kertas dan pena, yang sekiranya adalah merupakan pilihannya akan substitusinya bagi nutrisi.
Paris di tahun 1920, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ernest Hemingway di dalam A Moveable Feast adalah suatu pelarian imajinatif bagi saya yang merasa semakin terperangkap dalam dogmatisasi di kehidupan nyata masa kini. The iPad generation adalah berbeda dengan the literary generation di masa Hemingway, Pound, Joyce, Fitzgerald, dan penulis lainnya di kota Paris. Kini, intelektualitas secara umum diejawantahkan dalam kesempatan menduduki bangku sembari menanti gelar. Sedang di masa Paris 1920, kesederhanaan pemikiran dan kelincahan pena menari di atas media, adalah sebuah definisi dan kebahagiaan adalah ´rasa,´ dimana dewasa ini kata bahagia diselaraskan dengan ´citra.´
Hemingway´s A Moveable Feast |
Gertrude Stein, salah satu sahabat bertukar pikiran Hemingway di kota Paris pada masa itu, mempopulerkan sebutan ¨a génération perdue¨ atau ¨lost generation,¨ sebagaimana diceritakan Hemingway dalam ¨Une genération perdue¨ dalam konversasi singkat mereka sebagai berikut:
(Stein) : ¨That´s what you are. That´s what you all are. All of you young people who served in the war. You are a lost generation.¨
(Hem) : ¨Really?¨
(Stein) : ¨You are. You have no respect for anything. You drink yourselves to death.¨
Membaca Hemingway dalam A Moveable Feast merupakan sebuah pelarian imajinatif saya untuk mentertawai diri sendiri. Pernyataan Stein yang menunjuk generasi Hemingway sebagai generasi yang hilang, semakin membuat saya mentertawai diri sendiri. Hemingway dan generasinya adalah mereka-mereka yang selamat dari era perang, seperti Hemingway sendiri yang terluka dan dikirim pulang ke Amerika pada tahun 1919. Dan terlepas dari fakta tersebut, Gertrude Stein menyebut generasi Hemingway (yang lebih muda darinya), sebagai generasi yang hilang.
Saya kini memejamkan mata dan membayangkan Gertrude Stein, Ernest Hemingway, mungkin ditemani Scott Fitzgerald, Ezra Pound, James Joyce, mungkin pula beserta Ford Madox Ford, duduk bersama saya di satu kedai kopi di Place St Michel. Malam hari, saya memilih
Café au lait , sedangkan Scott (yang digambarkan Hemingway selalu dalam keadaan setengah mabuk atau mabuk sepenuhnya) dengan wine pilihannya, Hemingway dengan white wine, dan yang lain dengan minumannya masing-masing. Seakan-akan saya adalah penjelmaan dari Gil Pender, tokoh utama dalam ¨Midnight in Paris¨ karya Woody Allen yang termasyhur itu, saya membayangkan apa yang akan terjadi kemudian.
Ah, Paris di masa kejayaannya. Namun bukankah Paris akan selalu dicinta? Setidaknya Hemingway menyiratkan kesan itu. Menulis, menikmati hari, mencintai hidup dalam bentuk ke-apa-ada-an-nya, saya menyelinapkan diri pada bayangan akan Paris di masa itu, di masa Hemingway masih belum sampai pada keputusannya untuk mengakhiri hidup dengan peluru pilihannya di tahun 1961. Ah Hemingway....
¨If you are lucky enough to have lived in Paris as a young man, then wherever you go for the rest of your life, it stays with you, for Paris is a moveable feast.¨
1 comment:
gila quote di akhir tulisan pas banget penempatan nya kak.. hehe :) inspiring writing, wish I could spend my time to write in the middle of finding the right one (re: nentuin judul skripsi ;p). hope you're doing good in Lima, kak :D
Post a Comment