Tepat kemarin di tanggal dua Mei, Indonesia melewati apa yang disebut sebagai ¨Hari Pendidikan Nasional.¨ Sebuah kebohongan apabila saya menyebutnya sebagai sebuah perayaan, karena memang tak nampak perayaan apapun selama satu hari tersebut. Meski begitu banyak figur yang dikenal di negeri ini mengungkapkan pandangan-pandangannya dalam akun Twitter mereka masing-masing, namun kesemuanya tak lebih dari opini yang terbataskan oleh aturan 140 karakter ala jejaring sosial tersebut. Sebetulnya apa makna penyebutan ´Selamat Hari Pendidikan Nasional´ apabila tak tampak usaha Pemerintah menyadarkan masyarakat perihal urgensifitas pendidikan itu sendiri?
Saya bukan seorang Anies Baswedan yang melahirkan gagasan brilian ´Indonesia Mengajar,´ yang menunjukkan inisiatifnya sebagai seorang akademisi yang ingin menyuburkan dunia keilmuan di seluruh pelosok negeri ratusan ribu pulau ini. Saya bukan pula Jacqueline Novogratz yang menggagas berdirinya ´Acumen Fund,´ sebuah lembaga nirlaba dengan tujuan utama mendanai proyek-proyek vital di negara berkembang yang menghubungkan pihak pemilik dana (venture capitalist) dengan masyarakat ´kecil´ dan ragam kebutuhannya. Dan saya juga bukan Ashoka Fellow atau Kiva Fellow, yang dapat berbuat ´sesuatu´ sesuai dengan skema, dana, dan arahan yang telah dibentuk oleh para development experts di dalam jajaran board of directors-nya. Saya ini hanya penyimak dalam makna yang sederhana.
Saya menyimak pandangan-pandangan menarik yang disajikan dalam rangkaian video di situs TED yang didirikan kurator favorit saya, Chris Anderson. Lewat TED, saya diajak ´berkenalan´ dengan para tokoh yang dalam kesederhanaannya masing-masing, kesemuanya menyimpan mimpi-mimpi besar untuk membangun pendidikan masyarakat global dengan upaya yang variatif dan tentunya inovatif. Arvind Gupta, memperlihatkan kreatifitasnya menghasilkan beragam permainan edukatif untuk anak-anak yang kesemuanya dihasilkan melalui limbah dan sampah. Tujuannya sederhana: Ia ingin membantu mengurangi jumlah sampah yang banyak ditemukan di sekitar lingkungannya tinggal, dan sekaligus menghadirkan gairah belajar yang lebih besar di kalangan anak-anak kecil. Atau simak pula sang empunya Microsoft yang telah lama dikenal sebagai salah satu filantropis termasyhur dunia, Bill Gates. Dalam video ini, ia memaparkan pandangannya tentang betapa pentingnya peran guru dalam perjalanan suatu bangsa. Perhatiannya terhadap bangsa-bangsa di Afrika yang dihantui dengan kehadiran beragam penyakit mematikan seperti malaria, disampaikannya dalam presentasi 18 menitnya ini. Ia, dan juga istrinya Melinda, telah menunjukkan pada dunia apa yang kini dikenal sebagai ´capitalists-cum-philantropists.´ Keduanya mendirikan ´The Bill and Melinda Gates Foundation,´ sebuah upaya ambisius yang didasari ´15 guiding principles,´ bertujuan untuk menghadirkan dunia dengan kesejahteraan yang lebih merata bagi semua. Dalam dunia pendidikan, selain menyumbang donasi untuk pembangunan pendidikan di negara-negara termiskin di sahara Afrika, foundation ini juga menjadi penyandang dana terbesar di balik bertahannya situs penyedia pendidikan gratis ternama, Khan Academy.
Berbicara tentang pendidikan, tentu saya tak akan lupa pada sosok Butet Manurung. Dengan keinginan kuat dan rasa sayangnya pada masyarakat pedalaman, ia mendirikan Sokola Rimba, sekolah yang mengajarkan bermacam hal pada anggota suku-suku di daerah yang tak terjangkau pelayanan pendidikan resmi pemerintah Indonesia. Dengan pendekatan antropologis, Butet telah menunjukkan pada saya pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya, bahwa menjadi pendidik tak perlu terafiliasi pada institusi apapun. Apa yang dilakukan Butet adalah jati diri luhur dari pendidik sejati. Mengajar tanpa meminta, membumi dan mengabdi.
Kini, negeri ini membutuhkan kelahiran Butet Manurung yang lain. Yang tak peduli pada skema yang ada, yang berdedikasi tinggi, dan tak peduli pada tatanan sistem. Saya rasa untuk menghasilkan perubahan, harus diawali dengan pemahaman yang mendalam tentang keadaan yang berjalan. Yang dilanjutkan dengan konseptualisasi mengakar, dan bertujuan menjawab permasalahan yang terjadi di lapangan. Maafkan saya apabila terdengar seperti menceramahi, namun sesungguhnya saya menceramahi diri saya sendiri. Saya harus terus berkata, ¨setelah menyimak, setelah membaca, setelah memperhatikan manusia-manusia yang berdedikasi, apa selanjutnya?¨
Mengingat ucapan pemikir, penulis, pemerhati gerakan sosial Amerika Serikat, Howard Zinn, ¨we dont have to engage in grand, heroic actions to participate in the process of change. Small acts, when multiplied by millions of people, can transform the world.¨ Jadi saya berkata pada diri sendiri, ¨mari menjadi pendidik bagi sesama. Satu demi satu, perlahan dalam waktu, namun pasti dalam ambisi.¨ Dan itulah kesadaran saya di Hari Pendidikan Nasional kemarin. Kesadaran yang saya tanamkan dalam hati dan sampaikan dalam tulisan. Yang semoga, dalam kurun waktu yang tak lama, akan menjadi bagian dari implementasi nyata.
Namun kembali, sesungguhnya, tulisan ini hanya pemikiran sederhana. Benar-benar sederhana :)
No comments:
Post a Comment