¨(Proses) pembangunan adalah laksana pelayaran kapal dengan jumlah kehancuran yang lebih besar dibandingkan para penunjuk arahnya.¨
Kutipan dari buku termasyur milik Eduardo Galeano, ´Open Veins of Latin America´ tadi sepertinya menjadi semacam ´pegangan´ bagi presiden Ekuador yang baru saja memenangkan pemilihan umum untuk ketiga kalinya, Rafael Correa.
Dengan catatan 60% suara pemilih, Correa jelas-jelas membuktikan bahwa Ia tidak ingin hancur dan tersungkur. Dengan satu kali lagi kemenangan, Correa telah memastikan bahwa dirinya adalah penunjuk arah daripada ´kapal´ bernama Ekuador, yang telah dinakhodainya sejak tahun 2007 silam. Dan bagi seorang Rafael Correa, pembangunan adalah juru kunci keberhasilannya memenangkan posisi sebagai nakhoda yang bertahan. Ia terpilih karena telah berhasil membangun bangsanya, dengan caranya.
Di saat begitu ramainya gerakan yang dilakukan pemimpin-pemimpin Asia Tenggara dalam memanfaatkan paham liberalisasi ekonomi di segala aspek pertumbuhan bangsa, Correa memperlihatkan manuver yang sangat berbeda. Ironisnya, data Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) yang dikutip harian The Guardian menunjukkan: Kebijakan Correa telah berhasil menurunkan rasio kemiskinan Ekuador sebesar 32,4%. Mengapa ironis? Karena hasil tersebut didapatkan bangsa Ekuador bukan melalui kepemimpinan ala Obamanomics atau yang dipersekutukan para pengikut Milton Friedman dan Hayek yang selama ini dibenarkan oleh para pengamat ekonomi barat dan juga kroni-kroni media.
Kekayaan individu tidak dipandang sebagai parameter mengukur kekayaan bangsa. Correa tidak akan menciptakan keadaan si 1% melawan si 99% laksana kondisi global saat ini. Ia menciptakan pemerataan peruntukkan hasil ekonomi Ekuador, dari tanah bangsanya untuk seluruh anak bangsanya sendiri. Correa secara gamblang mengungkapkan pandangannya akan hal tersebut dalam pidato kemenangannya, dimana ia berujar, ¨We are only here to serve you. Everything for you, a people who have become dignified in being free.¨
Correa seakan mengerti bahwa bahkan masyarakat miskin pun berhak atas harga diri.
Dan sebagaimana yang dipercayai Marx, Correa mengerti bahwa ¨(manusia) mendapatkan posisinya dalam kolektifitas sosial.¨ Ia tidak mengukur kekuatan ekonomi bangsa Ekuador melalui besaran tingkat konsumsi kelas menengah ke atas, melainkan dari pemenuhan kebutuhan seluruh warga tanpa terkecuali.
Paham perdagangan bebas, penyembahan pada demokratisasi, pemberian hak tanpa batas kepada para investor asing, pembenaran atas tak terbatasnya peluang perusahaan asing melakukan kegiatan pengerukan sumber daya alam, serta jalinan persahabatan erat dengan pemimpin negara maju, dipandang Correa sebagai pilihan yang tak absolut dalam hal proses membangun negara. Ia menerapkan kebijakan-kebijakan yang berkebalikan.
Correa menyediakan akses mudah bagi seluruh warga negara Ekuador terhadap pendidikan dan layanan kesehatan, yang didapat melalui penambahan jumlah dana belanja negara. Ia tidak membagi kedua arena vital tersebut pada pihak swasta/privat. Begitu pula halnya dengan pemanfaatan sumber daya alam. Correa meminta penyusunan ulang kontrak karya perusahaan asing yang mengelola dan menguasai lini pemanfaatan hasil sumber daya alam Ekuador, dimana pemerintah (sebagai wakil dari seluruh bangsa Ekuador) tetap pemegang saham terbesar.
Peperangannya pada insan media Ekuador, dipandang oleh organisasi pembela hak asasi sebagai suatu kejahatan terhadap kebebasan berpendapat. Dokumen yang dirilis organisasi Human Rights Watch pada tahun 2011 menyatakan Presiden Rafael Correa telah secara jelas melakukan penyuburan pada kegiatan pembatasan hak jurnalis dalam melaporkan kebenaran. Terdapatnya elemen klausula ´desacato´ atau ´lack of respect´ dengan ancaman sanksi pidana tiga bulan hingga dua tahun, yang termuat di dalam kitab undang-undang hukum pidana Ekuador, dipandang sebagai peringatan tajam yang diperlihatkan Correa pada siapapun yang menujukan kritik terhadap kebijakan sang presiden.
Ketidaksepahamannya dengan insan media dalam negeri, tidak cukup untuk menjadikan Correa sebagai bulan-bulanan para pemimpin negara barat. Keputusannya untuk melindungi Julian Assange, sang pendiri Wikileaks, dari ´kejaran´ pemerintah Inggris dan Swedia sejak bulan Agustus 2011, semakin mengukuhkan posisi Correa sebagai pemimpin yang tak sejalan dengan para pemimpin negara maju.
Terlepas dari segala pemberitaan media-media besar yang selalu menyudutkannya sebagai seorang pemimpin, Rafael Correa telah sekali lagi berhasil menunjukkan ironi yang mencengangkan tentang negara dengan paham anti kapitalisme, yang selama ini selalu dipandang sebagai negara miskin luar biasa yang terperangkap dalam alur kesengsaraan tanpa adanya peluang atas perubahan.
14 juta lebih rakyat Ekuador memilihnya kembali dalam kali ketiga, dan fakta tersebut bukan tak menyimpan arti.
Arti kemenangan Correa yang sulit dimengerti para pemerhati politik dan ekonomi yang tak sepaham dengan Correa itu dapat dibahasakan dengan kisah lama dari negara tetangga, yakni milik jenderal Pedro Ferre, salah seorang perwakilan provinsi Corrientes di Argentina, yang diungkapkannya pada masa penjajahan di tahun 1830 seperti yang dikutip Sergio Bagu tahun 1949 dalam ´Economia de la sociedad colonial: ensayo de historia comparada de America Latina,´ berikut ini:
¨Yes, certainly a few wealthy men will be deprived of fine wines and liquors with their dinners. For the less well-off classes the differences will hardly be noticeable in the wines and liquors they now drink, only in the price, and consumption will go down, which is not a bad thing. Our country folk won´t wear English ponchos or carry British-made bolas and lassos; we won´t get clothing, and other things we can make ourselves, from abroad; but on the other hand, the condition of all the Argentine communities will begin to be less miserable and the frightful poverty to which we are now condemned will no longer pursue us.¨
Correa adalah pemimpin Amerika Latin yang dididik di bangku perkuliahan Amerika Serikat, namun mengerti letak perbedaan kebutuhan anak bangsanya dari penduduk negara lain. Ia menciptakan sistem pemerintahannya sendiri, bukan mengadopsi, terlebih menodai dengan menyembah sistem yang disuburkan para oligarkis. Seperti yang dipercayai Baruch Spinoza, ¨To understand, is to be free.¨ Maka untuk mengerti yang dibutuhkan oleh penduduk Ekuador, Correa membebaskan negaranya dari dikotomi-dikotomi. Membebaskan negaranya dari bentuk penyembahan-penyembahan, karena Ekuador adalah bangsa, bukan hamba sahaya.
Congratulation, Correa. Congratulation Ecuadorians.
For your own version of freedom.
Depok, 21 Februari 2013.
ps: Tulisan ini terinspirasi dari tulisan milik @SeumasMilne yang dimuat The Guardian dengan judul, ¨Think there´s no alternative? Latin America has a few,´ tertanggal 19 Februari 2013.
No comments:
Post a Comment